Malam ini lampu padam. Aku melihat runcing api lilin bergerak-gerak dalam hitam. Seperti daun, seperti rambut kekasih dipermainkan angin. Ia bergerak-gerak pelan, lalu cepat bersilangan. Semakin cepat, semakin kecil, dan akhirnya padam, karena angin semakin lancang menyelinap jendela yang sedikit terbuka.
Malam padam, semakin padam dalam pejam. Tapi kenapa ingatan semakin buncah menyebut arah? Aku bangkit, membuka jendela lebar-lebar. Terasa angin menusuk-nusuk, dingin merasuk. Ah, langit. Langit yang menyimpan bintang-bintang yang terang dan tenang.
Inikah hidup? Nyala lilin redup, masih ada cahaya bintang. Kelak jika bintang-bintang hilang, masih ada cahaya siang. Jika ternyata sunyi, masih ada puisi. Juga dalam luka, masih ada cinta. Harapan tak pernah mati, seperti juga cahaya hati. Ia tak pernah berhenti, hanya berganti. Hidup memang tak perlu letih, tak perlu perih.
Hidup memang tak perlu bersedih. Hidup hanya punya alasan tersembunyi untuk semua ini.
Tak perlu marah dan resah. Berbahagialah yang tak pernah lelah. Setiap harapan yang baik membuat hidup ini terasa indah…
Tuhan ciptakan Cinta dari Cahaya-Nya.
Seperti yang Ia anugerahkan pada nafas malaikat-malaikat-Nya yang bertasbih dan bersujud dalam kepatuhan yang abadi.
Cinta tentang Kesucian dan Kesejatian. Lalu ia ciptakan manusia berpasang-pasangan. Tuhan dapat dengan mudah mempertemukan mereka menjadi sepasang kekasih, seperti juga ia dapat dengan mudah memisahkan mereka…
Kemudian hadirlah takdir tentang cahaya dan dosa, cinta dan air mata. Disanalah sepasang kekasih memahami dunia sebagai sebuah pencarian. Yang satu mencari dan merindukan yang lainnya…
Aku berkelahi dengan bayanganku sendiri, di bawah lampu-lampu yang hampir mati, tak henti menduga dahaga dan menukar rasa lapar dengan sebungkus puisi yang dikerubungi lalat.
Malam melengkapi muram, seperti tampak bayangan kekasih melintas menyalakan bara api di sepanjang helaan napasku. Sepasang matanya yang jernih, tak henti kuringkas dalam doa-doa, tak akan pernah kulepas…
Mencintaimu membuatku mau belajar pada setiap orang di tepi jalan, diruas-ruas buku dan kaki langit yang paling sepi—aku mau belajar pada semesta, pada hidup. Tapi bukankah kita juga dapat “mati” oleh cinta jika kita tak menerima cinta sebagai sebuah pelajaran untuk mencintai yang lainnya dalam keadaan paling buruk sekalipun.
Tiba-tiba jam berhenti setajam belati, dengan helaan napas ku berbisik..…
Aku hanya ingin membuktikan diriku dalam doa-doa yang dapat mengubah setiap kesepian menjdi kenangan; mengubah cinta menjadi karya. Aku ingin belajar mengisi seluruh ruang dengan segenapmu.
Aku percaya, ada sesuatu yang tetap kita pertahankan dalam hidup sesingkat ini. Tapi ia sesuatu yang tak bisa disebut. Hanya jika cinta utuh dimengerti, dengan bathin yang bersih, dengan doa…
Hingga aku mencintaimu dalam diam. Seperti diam ketika dihadapkan pada kenyataan yang sangat rumit untuk diuraikan dipermukaan KeinGinan. Tetapi kadang cinta membuat kita untuk tetap siap berpikir. Dan aku telah menuliskan setiap cercah pikiran itu.
Seperti ketika kita mencintai seseorang, dan ia yang kita cintai tak pernah sedikitpun mencintai kita. Maka kita hanyut dalam arus kegelisahan.
Dalam itu, akupun berusaha melupakanmu dengan berbagai cara, tetapi selalu saja malam yang hening dan puisi yang sunyi berulangkali menegaskanmu. Tetapi aku percaya cinta menjadi agung jika kita mampu dan ikhlas mencintai seseorang yang ternyata tak mencintai kita.
Nurani adalah sabda paling lengkap dan ia kadang menunjukkan arah lain. Demikian penempuhan ini, sabda membangun titik dikeseluruhanmu. Aku berharap ada iman yang dahaga dan demikian tetap menyala, menerangi jalan menujumu. Aku pikir, setiap orang punya alasan yang kokoh kenapa ia mesti mempertahankan keyakinannya atas cinta, meski terjal.
Mereka berkata: “kenapa harus cinta dipaksakan?” aku menunduk, diam... Tapi aku harus belajar bahagia dapat mencintai seseorang, sekalipun ia tak mencintaiku dan terasa jauh, menjauh menjelma bayangan…
Hingga aku masih berdiri, disini, menatap batas langit—mungkin juga batasmu. Ketika berjalan sendiri, hidupku demikian cukup. aku ingin percaya bahwa langit telah teduh dan bumi bukan lagi riuh. Aku sendiri ketika manusia terdengar seperti gelas pecah dan kunang-kunang yang saling menjauh keluar dari dadanya.
Aku telah sendiri ketika manusia pecah dan menjauh, ketika yang satu tak lagi siap menghargai yang lainnya, ketika yang satu tak lagi siap mencintai yang lainnya. Aku berjalan sendiri dan perlahan menghimpun keheningan dan kenangan disudut kecil yang—aku yakin—kebanyakan orang tak suka melewatinya yaitu Menyendiri....
Kekasih, kamu berhak sepenuhnya tak bicara sedikitpun untuk menjawab tentang ini. Sebab keseluruhan dirimu telah mengajarkan aku untuk percaya bahwa cinta bisa diajukan bukan sebagai suatu pertanyaan, tetapi sesuatu yang dapat menjadi pelajaran untuk menjadi seseorang yang terbaik bagi yang lainnya, mampu bersikap memberi tanpa menuntut untuk selalu ingin menerima.
Mungkin suatu saat tiba-tiba aku akan berjalan menikung dan meletih dalam hidup, maka aku dapat belajar banyak hal dari kenangan tentang arti melangkah. Belajar tentang arti kehilangan, arti kecemasan, arti keindahan, arti ketabahan, arti kerinduan dan arti cinta, arti doa, arti berharap… Hingga tiba sebuah hidup yang demikian sederhana ketika aku terluka karena kau luka. Aku bahagia karena kau bahagia…
No comments:
Post a Comment